Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase Dan Pengadilan Perburuhan Berdasarkan UU PPHI
Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase Dan
Pengadilan Perburuhan Berdasarkan UU PPHI
Sebagaimana
kita ketahui, dengan diberlakukannya UU No. 2 Tahun 2004 (UU PPHI) pada bulan
Januari 2005, maka mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan (perselisihan
industrial) melalui lembaga P4D maupun P4P akan segera dihapus.Jika
dicermati, UU PPHI ini mereduksi tanggungjawab pemerintah (Disnaker) dalam
melindungi posisi buruh dalam berhadapan dengan pemodal. Padahal perlindungan
ini dirasakan masih tetap diperlukan, dengan mengingat relasi pengusaha-buruh
yang terbangun saat ini bukanlah relasi industrial yang egaliter, akibat sangat
kuatnya daya tawar pengusaha.Disamping
kelebihan di bidang sumber daya ekonomi, penyebab kuatnya daya tawar pengusaha
dalam berhadapan dengan buruh adalah kapasitas SDM, termasuk dalam
menguasai proses penyelesaian perselisihan perburuhan. Hal ini berpotensi pula
akan terjadi pada saat berlakunya UU PPHI ini, jika pihak buruh tidak melakukan
peningkatan kapasitas sumber daya organisasinya sesegera mungkin.Salah
satu cara untuk meningkatkan daya tawar buruh dalam penyelesaian perselisihan
industrial adalah dengan mencermati kedudukan dan wewenang lembaga-lembaga baru
yang diatur UU PPHl. Hal ini harus segera dilakukan dengan mengingat akan
diberlakukannya UU ini pada tanggal 15 Januari 2005 nanti. Penambahan wawasan
ini harus dilakukan sambil melakukan upaya-upaya lainnya berkaitan dengan
gerakan untuk memperjuangkan mekanisme penyelesaian yang lebih berpihak dan
melindungi posisi buruh.Jenis
Perselisihan Yang Diatur Dalam UU PPHIDalam
UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU
PPHI), perselisihan hubungan industrial akan dibagi menjadi :
Adalah
perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya
perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
- Perselisihan
Kepentingan :
Perselisihan
yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan
yang timbul akibat tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
- Perselisihan antar Serikat
Pekerja :
Perselisihan
antara serikat pekerja dengan serikat pekerja lainnya hanya dalam satu
perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan.Dari
pembagian perselisihan menjadi beberapa klasifikasi di atas, maka terdapat
kesulitan tersendiri pada implementasi UU PPHI ini, yaitu harus dimulai dengan
pengetahuan dalam membedakan jenis perselisihan. Hal ini menjadi penting dengan
mengingat babwa perbedaan perselisihan tersebut akan berdampak pada jenis
lembaga penyelesaian perselisihan yang akan ditempuh (Mediasi atau Konsiliasi
atau Arbitrase atau Pengadilan).Kedudukan
Dan Wewenang Lembaga Penyelesaian Perselisihan :I.
Bipartit :Sebelum
perselisihan diajukan kepada lembaga penyelesaian perselisihan, maka setiap
peselisihan wajib diupayakan penyelesaiannya secara bipartit, yaitu musyawarah
antara pekerja dan pengusaha. Proses bipartit ini harus diselesaikan paling
lama 30 (tiga puluh hari). Jika melewati 30 hari salah satu pihak menolak untuk
berunding maka perundingan bipartit dianggap batal.Jika
perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihannya ke Disnaker dengan melampirkan bukti
perundingan bipartit. Setelah menerima pencatatan tersebut, Disnaker wajib
menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui :Konsiliasi,
untuk :
- Perselisihan Kepentingan,
- Perselisihan PHK,
- Perselisihan antar Serikat
Pekerja.
atau
Arbitrase, untuk :
- Peselisihan
Kepentingan,
- Perselisihan
antar Serikat Pekerja.
II.
Mediasi :Adalah
lembaga penyelesaian perselisihan yang berwenang terhadap penýelesaian :
- Perselisihan Hak,
- Perselisihan Kepentingan,
- Perselisihan PHK,
- Perselisihan antar serikat
pekerja.
Lembaga
mediasi pada dasamya hampir sama dengan lembaga perantaraan yang dilaksanakan
oleh pegawai perantara Disnaker sebagaimana yang telah kita kenal. Petugas yang
melakukan mediasi adalah mediator yang merupakan pegawai dinas Tenaga Kerja
yang akan memberikan anjuran tertutis kepada para pihak yang berselisih.Perbedaannya
adalah jika sebelumnya setiap perselisihan wajib melalui proses perantaraan
terlebih dahulu, maka berdasarkan UU PPHI ini selain perselisihan Hak, pihak
Disnaker terlebih dahulu menawarkan kepada para pihak untuk dapat memilih
Konsiliasi atau Arbitrase (tidak langsung melakukan mediasi). Jika para pihak
tidak menetapkan pilihan melalui Konsiliasi atau Arbitrase dalam waktu 7
(tujuh) hari, maka Disnaker melimpahkan penyelesaian kepada Mediator.(Adapun
terhadap Perselisihan Hak, maka setelah menerima pencatatan hasil Bipartit,
maka Disnaker wajib meneruskan penyelesaian perselisihan kepada Mediator. Hal
ini dikarenakan Pengadilan Hubungan Industrial hanya dapat menerima gugatan
Perselisihan Hak yang telah melalui proses Mediasi).Setelah
menerima pelimpahan perselisihan, maka Mediator wajib menyelesaikan tugasnya
selambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan
perselisihan. Jika penyelesaian melalui Mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka
salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan
industrial.III.
Konsiliasi :Lembaga
penyelesaian perselisihan yang berwenang untuk menjadi penengah :
- Perselisihan Kepentingan,
- Perselisihan PHK,
- Perselisihan antar Serikat
Pekerja.
Yang
bertugas sebagai penengah adalah Konsiliator, yaitu orang yang memenuhi
syarat-syarat sesuai ketetapan Menteri dan wajib memberikan anjuran tertulis
kepada para pihak yang berselisih. Terhadap penyelesaian metalui Konsiliasi
tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan
kepada Pengadilan Hubungan Industrial.IV.
Arbitrase :Adalah
lembaga yang berwenang untuk menjadi wasit dalam :
- Peselisihan
Kepentingan,
- Perselisihan
antar Serikat Pekerja.
Yang
bertugas menjadi wasit adalah arbiter. Para arbiter ini dapat dipilih oleh para
pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.V.
Pengadilan Hubungan Industrial :Adalah
lembaga peradilan yang berwenang memeriksa dan memutus :
- Perselisihan
Hak,
- Perselisihan
Kepentingan,
- Perselisihan
PHK,
- Perselisihan
antar Serikat Pekerja.
Hakim
yang memeriksa dan memutus perselisihan tersebut di atas terdiri dari Hakim
dari lembaga peradilan dan Hakim Ad Hoc. Serikat pekerja dan organisasi
pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan
Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.Beberapa
hal yang relatif baru dan penting untuk diketahui dalam pengadilan perburuhan
ini adalah :Pemeriksaan
di pengadilan perburuhan :
- Tingkat
pertama untuk Perselisihan Hak dan Perselisihan PHK dan para pihak dapat
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
- Tingkat
pertama dan terakhir (FINAL) untuk Perselisihan Kepentinga dan
Perselisihan antar Serikat Pekerja.
Hukum
acara yang berlaku :Hukum
Acara Perdata, kecuali diatur khusus dalam undang-undang PPHl.Biaya
perkara :Pihak
yang berperkara tidak dikenakan biaya, termasuk biaya eksekusi yang nilai
gugatannya dibawah Rp 150.000.000,- (seratus lima pulub juta rupiah).Kedudukan
pengadilan :Untuk
pertama kalinya Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk pada setiap Pengadilan
Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap lbukota Propinsi yang daerah
hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan. Adapun di Kabupaten/Kota terutama
yang padat industri, berdasarkan Keputusan Presiden harus segera dibentuk
Pengadilan Hubungan industrial pada pengadilan negeri setempat.Tempat
mengajukan gugatan :Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
pekerja bekerja.Perselisihan
Hak dan Kepentingan yang disertai PHK :Jika
Perselisihan Hak dan/atau Perselisihan Kepentingan diikuti dengan pemutusan
hubungan kerja, maka Pengadilan wajib memutus terlebih dahulu perkara
Perselisihan Hak dan/atau Perselisihan Kepentingan.Apabila
pada persidangan pertama telah terbukti secara nyata bahwa pihak pengusaha
telah melakukan pelanggaran terhadap larangan melakukan PHK sebagaimana yang
diatur dalam pasal 153 ayat (3) UU No.12 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
maka pada sidang pertama atau pada sidang kedua, Ketua Majelis Hakim wajib
mengeluarkan Putusan Sela berupa perintah kepada Pengusaha untuk membayar upah
berserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pihak pekerja.Dalam
hal Putusan Sela tidak dilaksanakan oleh pihak pengusaha, Ketua Majelis Hakim
memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan
Industrial dan terhadap penetapan tersebut tidak dapat diajukan perlawanan
dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.Jenis
pemeriksaan di pengadilan :
- Pemeriksaan
dengan Acara Biasa,
- Pemeriksaan
dengan Acara Cepat.
Apabila
terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak,
dapat diajukan permohonan kepada Pengadilan agar dapat dilaksanakan
pemeriksaan acara cepat. Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya
permohonan tersebut, Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang
dikabulkannya permohonan tersebut. Terhadap penetapan tersebut tidak digunakan
upaya hukum.Dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah penetapan pemeriksaan acara cepat,
Ketua Pengadilan menentukan Majelis Hakim, hari, tempat dan waktu sidang tanpa
melalui prosedur pemeriksaan. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua
belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari
kerja.Putusan
pengadilan :Selambat-lambatnya
50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama, Majelis Hakim wajib
memberikan putusan. Ketua Majelis Hakim dapat mengeluarkan putusan yang dapat
dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau
kasasi.Beberapa
Permasalahan Dan RekomendasiJika
dilihat dari sudut pandang hukum dan kepentingan pekerja, maka beberapa
permasalahan yang dapat diprediksi akan muncul dengan berlakunya PPHI adalah
sebagai berikut :
- Teknis
penyelesaian kasus
makin kompleks karena
adanya metode penyelesaian melalui mediasi,
rekonsiliasi, arbitrase dan pengadilan perburuhan.
- Serikat
pekerja harus memiliki SDM profesional sebagai pendamping pekerja dalam
menyelesaikan kasus dan mengantisipasi kebutuhan Hakim ad hoc dan Arbiter
di Pengadilan dan Arbitrase.
- Individual
bargaining akan semakin “menggejala” dan berpotensi menggeser coIIective
bargaining serikat pekerja.
- Keputusan
pengadilan yang korup dapat dimanfaatkan sebagai senjata untuk memperlemah
gerakan buruh.
Dengan
mencermati kompleksitas permasalahan yang akan timbul pada saat pemberlakuan UU
tentang PPHI tersebut, maka rekomendasi yang harus segera menjadi agenda kerja
organisasi adalah :
- Segera
melakukan desiminasi informasi berkaitan dengan teknis penyelesaian
perselisihan perburuhan berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004. Wacana mengenai
“penolakan” atau “penerimaan”, sebaiknya selalu ditambah dengan usulan
pembenahan metode penyelesaian perselisihan perburuhan.
- UU
No. 22 Tahun 1957 telah terbukti menjadi legitimasi dari dominasi
pemerintah dalam penyelesaian perselisihan. Sebaliknya, UU No. 2 Tahun
2004 (tentang PPHI) dapat pula menjadi legitimasi pemerintah untuk
melepaskan tanggung jawawabnya dalam penyelesaian perselisihan.
Kesimpulannya, pihak buruh terus menerus menjadi korban dan harus mulai
menggagas (secara mandiri) suatu rumusan penyelesaian yang dianggap paling
tepat.
- Menyelesaikan
perselisihan melalui lembaga peradilan haruslah ditempatkan sebagai
altenatif paling akhir dengan mengingat babwa penyelesaian melalui lembaga
peradilan akan banyak membuang waktu, tenaga dan dana dengan hasil yang
tidak maksimal.
- Keterlibatan
serikat pekerja harus tetap dikedepankan dengan melakukan rekrutment atau
peningkatan kapasitas SDM yang diproyeksikan menjadi pendamping anggota
organisasi yang berperkara, arbiter dan hakim ad hoc.
- Serikat
pekerja harus mempersiapkan sebuah gerakan sosial untuk membersihkan
pengadilan dari para hakim yang korup, karena lembaga peradilan akan
menjadi tumpuan terakhir para pekerja dalam mendapatkan keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar